Waktu SD saya belajar MS-DOS, Word Star, dan Lotus 123 dari Bapak saya, waktu itu saya dikenalkan dengan IBM 486 DX2. Seiring waktu, SMP saya sering sekali iseng bikin banyak game dengan Turbo Pascal, dan kemudian mengenal Borland Delphi. Saat SMA, dan masa kuliah, komputer pun berkembang sangat pesat hingga kantong tidak mumpuni lagi untuk mengikuti, dan belajar network jadi lebih menarik.
Mendekati akhir perkuliahan akhirnya banyak berlabuh di jaringan berbasis Linux, dan teknologi buatannya Cisco Systems. Dari dua aras itulah saya kemudian belajar banyak hal hingga kini.
Refleksi saya, saya sejujurnya tidak lebih pintar dari para engineer kami yang usianya jauh lebih muda, yang mungkin sebelum lulus sekolah pun sudah handling perangkat canggih. Otaknya masih fresh dan mampu menguasai advance teknologi.
Saya menemukan bahwa di atas kepandaian para engineer muda, ada satu hal penting yang perlu dimiliki: kemampuan problem solving, dan ternyata kemampuan itu bukan soal seberapa pintar kita mengetahui banyak hal. Ternyata kemampuan untuk menemukan definisi masalah adalah kuncinya.
Diantara banyaknya valuable information, dan banyaknya solusi saat ini, kita benar-benar harus yakin, sesungguhnya apa yang tengah menjadi masalah. Pseudo problems menjadi penyebab hilangnya fokus pemberian solusi yang tepat. Orang mengira dia telah menemukan jawaban, namun ternyata setelah solusi diberikan, persoalan masih berlangsung, meskipun dengan rupa tak sama. Sering itu yang membuat stress engineer-engineer muda.
Sebuah contoh sederhana, banyak orang mengira mengganti perangkat firewall dengan yang lebih canggih bisa membereskan masalah keamanannya, sementara habit pengguna, pembuatan policy yang didasarkan pada keinginan gak mau repot, dan kelalaian penggantian default mode, justru menjadi masalah utama. Ada hal mendasar yang lebih penting dibanding kecanggihan perangkat, dan kecanggihan solusi yang ditawarkan. Yaitu manusianya.
Teknologi canggih, yang semestinya mahal dibeli itu manusianya, bukan perangkatnya.
Meski saya juga penggiat pengembangan AI, tapi bagaimanapun peran manusia tidak bisa tergantikan, dan semestinya dihargai lebih mahal dari perangkat. Oleh sebab itu saya masih heran jika ada yang berharap beli barang tapi tidak dibarengi dengan beli jasa-nya. Atau masih ada yang berharap harga jasa itu murah, jauh lebih murah dari barangnya.
Kesimpulannya: pertama, jangan ada yang menganggap engkau rendah dan gak tau apa-apa hanya karena kita sudah masuk golongan tua, katanya otaknya udah penuh, sulit diisi hal canggih yang baru. Ketahuilah kemampuan problem solving dan menemukan akar masalah masih menjadi keruwetan bagi yang muda.
Yang kedua, jangan hargai manusia lebih rendah dari perangkatnya. Temukan value jasa, yang membuat sehingga secanggih apapun dan semahal apapun perangkatnya, tanpa manusia (engineer) yang tepat, maka tak akan berdampak apa-apa.
Ya itu menurut saya sih..
Semangat!
Bagus Tri Widiantoro.
widiantoro.com